
TEMPO.CO, Ankara - Perdana Menteri Turki Recep Tayyep Erdogan memblokir
akses masyarakat ke Twitter sejak Kamis, 20 Maret 2014. Pemblokiran itu
dilakukan karena jejaring sosial yang kemarin masuk usia ke-8 itu
menyebar isu korupsi yang ia lakukan. Namun, menurut beberapa ahli, aski
tersebut malah akan memunculkan banyak kerugian.
Arvind Bhatia, analis perusahaan penelitian & investasi informasi Stern, Agee & Leach, menjelaskan bahwa pemblokiran Twitter akan
berdampak besar pada demokrasi negara. "Pemblokiran itu memiliki riak
gelombang yang besar. Twitter memang memiliki risiko politik lebih besar
dari perusahaan media sosial lainnya seperti Facebook," kata Bhatia. Sementara, Jillian York, Jillian York, direktur kebebasan ekspresi dari Electronic Frontier Foundation, menjelaskan rencana itu perlu dipikirkan secara serius. "Saya rasa ada risiko dari tidakan ini. Saya pikir tidak mungkin mereka benar-benar melakukannya sejauh ini. Mungkin Twitter akan diblokir dari konten tertentu," kata
Situs Reuters menulis, Twitter adalah salah satu saluran komunikasi yang paling populer di Turki. Sejak diblokir, sejumlah pengguna Twitter melakukan aksi protes ke jalanan, Jumat, 21 Maret 2014. Mereka kecewa dengan larangan pembatan akses ke Twitter yang digantikan dengan layanan SMS.
Sementara itu, Twitter masih mengkaji apakah pemblokiran itu terjadi secara masal atau tidak. Juru bicara Twitter mengatajan, perusahaan akan mencoba untuk berdiskui dengan pemerintah Turki terkait masalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar